Oleh : Ela Tjantinia Priatini, ST.
Perencana Ahli Muda – Bappelitbangda Kota Tasikmalaya
RINGKASAN EKSEKUTIF
Perdagangan kaki lima merupakan salah satu kegiatan ekonomi informal yang paling populer di wilayah perkotaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perdagangan kaki lima juga menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup mudah untuk digeluti, terutama pada kalangan bawah di kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel (mudah keluar masuk), modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Lokasi sepanjang koridor jalan utama adalah lokasi potensial yang rentan dijadikan sebagai lokasi pedagang kaki lima (PKL), hal ini karena lokasi sepanjang koridor jalan utama merupakan lokasi strategis yang mudah dicapai oleh masyarakat.
Di Kota Tasikmalaya, keberadaan PKL bisa dengan mudah ditemukan di jalan-jalan utama, pusat-pusat keramaian, dan ruang-ruang publik lainnya, terutama dapat ditemukan di dua kecamatan yang menempati jantung kota, yaitu Kecamatan Cihideung dan Kecamatan Tawang, tepatnya di koridor jalan Gunung Sabeulah, jalan Pasar Wetan, jalan H. Z. Mustofa, dan jalan Tentara Pelajar. Keberadaan pedagang kaki lima pada lokasi-lokasi tersebut umumnya tidak teratur dengan bentuk wadah fisik yang beragam berupa kios-kios kecil yang dibentuk seadanya, sehingga merusak wajah fisik lingkungan kota yang sudah ditata. Penampilan kota menjadi tidak teratur dan kumuh sehingga menurunkan estetika kota. Berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima yang tidak tertata, menyebabkan terganggunya sendi-sendi kegiatan kota, seperti PKL yang menempati ruang publik mengakibatkan pengurangan ruang terbuka hijau, pemanfaatan trotoar yang mengganggu sirkulasi pejalan, pemanfaatan badan jalan yang menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Dengan kondisi seperti ini, maka dalam tulisan ini disampaikan langkah-langkah pengendalian PKL sebagai bahan pengambilan kebijakan, baik dari sisi pemberdayaan pedagangnya sendiri maupun intervensi pemerintah dalam penataan PKL di Kota Tasikmalaya. PKL tidak perlu dihilangkan dari lingkungan kota, akan tetapi dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Langkah ini diharapakan dapat menjadi solusi terbaik yang bersifat win-win solution dalam penataan PKL, di satu sisi kota bisa terlihat lebih cantik karena ditata dengan baik, dan sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih banyak.
Pendahuluan Dualisme kota dan desa yang ada di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Sebagian yang melakukan urbanisasi telah tertampung di sektor formal, namun sebagian lainnya tanpa bekal keterampilan yang dibutuhkan di kota tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para pendatang dari desa yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya. Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Sebaliknya dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal dikenal juga dengan ‘ekonomi bawah tanah’ (underground economy). Sektor ini diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas. Salah satu bentuk perdagangan tersebut adalah pedagang kaki lima (PKL), yang pada kenyataannya sangat diperlukan oleh masyarakat terutama masyarakat golongan menengah bawah, karena harga yang terjangkau. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan secara fisik dapat terlihat pada luas daerah terbangun. Peruntukan lahan perumahan merupakan bagian terbesar dari daerah terbangun yang ada. Daerah terbangun selebihnya merupakan bagian wilayah perkotaan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat kota. Salah satu kegiatan tersebut adalah sektor perdagangan, termasuk kegiatan pedagang kaki lima yang menimbulkan permasalahan terhadap ruang kegiatan yang harus disediakan. Sejak awal keberadaannya, kegiatan PKL ini sering tidak mendapat perhatian, sehingga perkembangannya menjadi tidak terkendali. Kegiatan pedagang kaki lima yang tidak teratur dengan bentuk wadah fisik yang beragam berupa kios-kios kecil yang dibentuk seadanya sering dianggap merusak wajah fisik suatu lingkungan kota yang sudah dibangun dengan rapi. Penampilan kota menjadi tidak teratur dan kumuh sehingga menurunkan estetika kota. Terganggunya sendi-sendi kegiatan kota akibat berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima yang tidak tertata menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan kota. Adanya pedagang kaki lima yang menempati ruang-ruang publik mengakibatkan juga terjadinya perubahan fungsi ruang tersebut. Contohnya pengurangan ruang terbuka hijau, pemanfaatan trotoar yang mengganggu sirkulasi pejalan, pemanfaatan badan jalan yang menimbulkan kemacetan lalu lintas. Jumlah pekerja di Indonesia hingga Agustus 2022 masih didominasi oleh sektor informal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 80,24 juta orang yang bekerja di sektor informal atau setara dengan 59,31% dari total penduduk bekerja di dalam negeri yang sebanyak 135,3 juta orang. Sedangkan sisanya sebanyak 55,06 juta orang atau 40,69% bekerja di sektor formal. Dibandingkan pada Pebruari 2022, proporsi pekerja sektor informal mengalami penurunan 0,665 poin, persentasenya juga turun menjadi 0,14% dibandingkan setahun sebelumnya. (DataIndonesia.id, sumber : BPS). Keadaan ini juga terjadi di Kota Tasikmalaya, dalam proses pengembangan kota atau wilayahnya terjadi persoalan-persoalan yang muncul yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakatnya dan hal ini jelas sekali akan berpengaruh pada kehidupan perkotaannya. Akibat dari datangnya urbanisasi yang tidak jelas pola dan arahnya, kota Tasikmalaya menjadi limpahan dari para pedagang kecil yang memang sangat mengerti keuntungan dalam mencari nafkah di situasi kota seperti ini. Sebagian besar pekerja informal di perkotaan, juga di Kota Tasikmalaya, terserap ke dalam sektor perdagangan, di antaranya perdagangan jalanan atau kaki lima. Perdagangan jalanan telah menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer, terutama pada kalangan bawah di kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel (mudah keluar masuk), modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Kegiatan ini juga merupakan bagian penting dalam sistem perekonomian kota karena terbukti mampu memberikan dukungan kepada masyarakat luas, terutama kalangan bawah melalui penyediaan produk-produk murah. Gambaran Umum Para pedagang informal (PKL) di Kota Tasikmalaya, ada yang berasal dari Kota Tasikmalaya sendiri dan ada yang merupakan pendatang dari berbagai daerah di sekitarnya. Latar belakang sosial ekonomi mereka yang pada umumnya dari kelompok masyarakat lapisan bawah dan kondisinya menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Keadaan semakin parah karena faktor ekonomi saat ini di Indonesia sedang menghadapi krisis yang berkepanjangan pasca pandemi Covid 19 pada tahun 2020-2021 lalu, sehingga sektor informal di perkotaan seperti pedagang kaki lima menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan. Kawasan Jalan Gunung Sabeulah, Jalan Pasar Wetan, Jalan H. Z. Mustofa, dan Jalan Tentara Pelajar, adalah beberapa lokasi tempat terkonsentrasinya kegiatan perdagangan di pusat Kota Tasikmalaya. Selain sebagai kawasan perdagangan formal, kawasan ini juga menunjukkan kawasan yang berpontensi untuk perkembangan pedagang informal atau pedagang kaki lima. Kondisi yang terlihat saat ini adalah bahwa pemanfaatan ruangnya didominasi oleh kegiatan perdagangan yang terdiri dari mall, toko, pedagang kaki lima, areal parkir mobil, sepeda motor serta tempat mangkal becak. Menurut RTRW Kota Tasikmalaya lokasi ini memang diperuntukan sebagai kawasan perdagangan pusat kota dengan skala pelayanan lokal. Para pedagang kaki lima yang beroperasi di kawasan ini sebagian besar menempati halaman toko, areal pejalan kaki (trotoar) hingga tumpah sampai ke badan jalan, disamping itu areal parkir mobil dan sepeda motor juga menempati sebagian badan jalan sehingga badan jalan yang bisa dimanfaatkan untuk lalu lintas kendaraan kapasitasnya relatif berkurang. Dari segi waktu berdagangnya, para PKL ini terlihat terbagi menjadi beberapa waktu, yaitu pedagang yang mulai berjualan dari pagi hingga siang hari dan pedagang yang berjualan dari sore hingga malam hari. Pedagang Kaki Lima yang berjualan di pagi hari sampai siang hari didominasi oleh pedagang makanan khususnya yang menyediakan menu sarapan, dan pedagang kelontong. Sedangkan pedagang yang berjualan pada sore hingga malam hari didominasi oleh pedagang makanan siap saji, yang menempati kios-kios semi permanen di depan toko dengan menggunakan gerobak. Keberadaan PKL tersebut dapat dilihat pada lampiran. Kondisi yang lahir akibat kegiataan tersebut adalah kemacetan lalu lintas, ketidak nyamanan bagi pejalan kaki, lingkungan yang kotor, juga kurangnya ketertiban dan keamanan di kawasan tersebut menjadi sisi lain yang berdampak buruk bagi Kota Tasikmalaya. Apabila dikaitkan dengan data dan sejarah ekonomi di Indonesia, harus diakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang di dalamnya termasuk PKL, sangat berperan dalam membangun fondasi perekonomian nasional. Sektor ini menyumbang sebesar Rp.2,5 Kuadriliun terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2022, yang merupakan penyumbang kedua terbesar setelah sektor industri pengolahan (Rp.3,6 Kuadriliun). Untuk Kota Tasikmalaya sendiri sektor penyumbang terbesar terhadap PDRB tahun 2022 adalah sektor perdagangan besar dan eceran, yaitu sebesar Rp. 5.416,72 miliar atau 21,69 % yang di dalamnya termasuk PKL. (Sumber : BPS Kota Tasikmalaya). Permasalahan Keberadaan sektor perdagangan kaki lima ini, ternyata merupakan masalah perkotaan bagi berbagai pihak, antara lain sebagai berikut :- Untuk pihak Pemerintah Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewajiban untuk menertibkan pedagang kaki lima terutama di kawasan pusat kota;
- Untuk pemakai jalan dan masyarakat sekitar, karena lalu lintas di sekitar lokasi PKL sering terjadi kemacetan dan tidak beraturan terutama pada siang dan sore hari, sewaktu pengunjung lokasi pedagang kaki lima di kawasan pusat kota sedang ramai. Dengan terjadinya kemacetan maka mengganggu kenyamanan bagi pengguna jalan.
- Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tasikmalaya 2011-2031
- Penggusuran
- Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW Kota Tasikmalaya 2023-2043
- perdagangan;
- perkantoran;
- jasa pariwisata;
- penginapan;
- hunian;
- sarana pendidikan, kesehatan, dan sosial;
- kegiatan usaha sektor informal;
- RTH dan RTNH; dan
- kegiatan pengembangan sarana prasarana kota.
- Pembangunan Teras Cihideung
- Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak berusaha menciptakan lapangan pekerjaan baru bahkan lebih cenderung berorientasi kepada mall-mall dan pasar modern dari pada jenis pedagang kecil;
- Sebagian pedagang merasa keberatan untuk membayar biaya sewa los/kios yang cukup tinggi yang sudah disediakan oleh pemerintah di kawasan PKL Cikurubuk;
- Sejumlah kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penanganan PKL cenderung parsial, tidak disertai dengan kebijakan di sektor lain yang masih terkait dengan perdagangan kaki lima;
- Tidak ada pengawasan berkala dan intensif dari pemerintah;
- Belum dilaksanakannya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Perda yang berlaku.
- Langkah pemberdayaan terhadap pedagang, yaitu :
- Melakukan edukasi mengenai aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, di satu sisi dibubarkan dan di sisi lain dimintai setoran, selama itu PKL akan ada. Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerja sama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisasi agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini pengorganisasian lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan dengan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisasi itu.
- PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. Contoh untuk kawasan PKL Cikurubuk yang sudah disediakan oleh pemerintah, diusahakan harga sewa losnya jangan terlalu tinggi agar terjangkau oleh para pedagang jalanan di kawasan itu.
- Edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikan permodalan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omzetnya ratusan ribu rupiah naik menjadi ratusan juta rupiah. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan. Pemahaman yang tepat akan keberadaan mereka juga dapat mendasari lahirnya kebijakan-kebijakan yang strategis maupun upaya pengorganisasian para PKL yang lebih
- Konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemerintah kota harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat lebih baik, bukan sebaliknya dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemerintah daerah harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan selama ini banyak pembeli tanpa mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun melalui kelompok PKL yang diorganisasi sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
- Langkah kebijakan dari pemerintah, yaitu :
- Terjalinnya hubungan baik antara pemerintah dengan organisasi PKL yang akan menjebatani implentasi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanganan PKL;
- Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam sektor perdagangan informal, khususnya PKL, harus juga dibarengi dengan kebijakan di sektor lain (contoh sektor sosial, pembukaan lapangan kerja) yang terkait dengan kegiatan PKL;
- Sudah saatnya sektor ekonomi informal alokasinya terwadahi dalam rencana tata ruang kota secara resmi;
- Adanya pengawasan berkala dan intensif dari aparat yang berwenang;
- Pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan yang berlaku;
- Pemberian reward kepada pedagang yang telah mengikuti aturan yang berlaku, misalnya dengan pemberian modal;
- Percepatan penerbitan regulasi tentang penataan PKL di kawasan pusat Kota Tasikmalaya, termasuk pemanfaatan Teras Cihideung pada malam hari untuk menempatkan PKL yang menjual makanan cepat saji (kuliner malam) yang saat ini berlokasi di trotoar-trotoar sekitar pusat kota.