KEBIJAKAN DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA TASIKMALAYA

PKL di Cihideung

Oleh : Ela Tjantinia Priatini, ST.

Perencana Ahli Muda – Bappelitbangda Kota Tasikmalaya

RINGKASAN EKSEKUTIF

Perdagangan kaki lima merupakan salah satu kegiatan ekonomi informal yang paling populer di wilayah perkotaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perdagangan kaki lima juga menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup mudah untuk digeluti, terutama pada kalangan bawah di kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel (mudah keluar masuk), modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Lokasi sepanjang koridor jalan utama adalah lokasi potensial yang rentan dijadikan sebagai lokasi pedagang kaki lima (PKL), hal ini karena lokasi sepanjang koridor jalan utama merupakan lokasi strategis yang mudah dicapai oleh masyarakat.

Di Kota Tasikmalaya, keberadaan PKL bisa dengan mudah ditemukan di jalan-jalan utama, pusat-pusat keramaian, dan ruang-ruang publik lainnya, terutama dapat ditemukan di dua kecamatan yang menempati jantung kota, yaitu Kecamatan Cihideung dan Kecamatan Tawang, tepatnya di koridor jalan Gunung Sabeulah, jalan Pasar Wetan, jalan H. Z. Mustofa, dan jalan Tentara Pelajar. Keberadaan pedagang kaki lima pada lokasi-lokasi tersebut umumnya tidak teratur dengan bentuk wadah fisik yang beragam berupa kios-kios kecil yang dibentuk seadanya, sehingga merusak wajah fisik lingkungan kota yang sudah ditata. Penampilan kota menjadi tidak teratur dan kumuh sehingga menurunkan estetika kota. Berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima yang tidak tertata, menyebabkan terganggunya sendi-sendi kegiatan kota, seperti PKL yang menempati ruang publik mengakibatkan pengurangan ruang terbuka hijau, pemanfaatan trotoar yang mengganggu sirkulasi pejalan, pemanfaatan badan jalan yang menimbulkan kemacetan lalu lintas.

Dengan kondisi seperti ini, maka dalam tulisan ini disampaikan langkah-langkah pengendalian PKL sebagai bahan pengambilan kebijakan, baik dari sisi pemberdayaan pedagangnya sendiri maupun intervensi pemerintah dalam penataan PKL di Kota Tasikmalaya. PKL tidak perlu dihilangkan dari lingkungan kota, akan tetapi dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Langkah ini diharapakan dapat menjadi solusi terbaik yang bersifat win-win solution dalam penataan PKL, di satu sisi kota bisa terlihat lebih cantik karena ditata dengan baik, dan sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih banyak.

Pendahuluan Dualisme kota dan desa yang ada di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Sebagian yang melakukan urbanisasi telah tertampung di sektor formal, namun sebagian lainnya tanpa bekal keterampilan yang dibutuhkan di kota tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para pendatang dari desa yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya. Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Sebaliknya  dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal dikenal juga dengan ‘ekonomi bawah tanah’ (underground economy). Sektor ini diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978).  Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas. Salah satu bentuk perdagangan tersebut adalah pedagang kaki lima (PKL), yang pada kenyataannya sangat diperlukan oleh masyarakat terutama masyarakat golongan menengah bawah, karena harga yang terjangkau. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan secara fisik dapat terlihat pada luas daerah terbangun. Peruntukan lahan perumahan merupakan bagian terbesar dari daerah terbangun yang ada. Daerah terbangun selebihnya merupakan bagian wilayah perkotaan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat kota. Salah satu kegiatan tersebut adalah sektor perdagangan, termasuk kegiatan pedagang kaki lima yang menimbulkan permasalahan terhadap ruang kegiatan yang harus disediakan. Sejak awal keberadaannya, kegiatan PKL ini sering tidak mendapat perhatian, sehingga perkembangannya menjadi tidak terkendali. Kegiatan pedagang kaki lima yang tidak teratur dengan bentuk wadah fisik yang beragam berupa kios-kios kecil yang dibentuk seadanya sering dianggap merusak wajah fisik suatu lingkungan kota yang sudah dibangun dengan rapi. Penampilan kota menjadi tidak teratur dan kumuh sehingga menurunkan estetika kota. Terganggunya sendi-sendi kegiatan kota akibat berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima yang tidak tertata menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan kota. Adanya pedagang kaki lima yang menempati ruang-ruang publik mengakibatkan juga terjadinya perubahan fungsi ruang tersebut. Contohnya pengurangan ruang terbuka hijau, pemanfaatan trotoar yang mengganggu sirkulasi pejalan, pemanfaatan badan jalan yang menimbulkan kemacetan lalu lintas. Jumlah pekerja di Indonesia hingga Agustus 2022 masih didominasi oleh sektor informal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 80,24 juta orang yang bekerja di sektor informal atau setara dengan 59,31% dari total penduduk bekerja di dalam negeri yang sebanyak 135,3 juta orang. Sedangkan sisanya sebanyak 55,06 juta orang atau 40,69% bekerja di sektor formal. Dibandingkan pada Pebruari 2022, proporsi pekerja sektor informal mengalami penurunan 0,665 poin, persentasenya juga turun menjadi 0,14% dibandingkan setahun sebelumnya. (DataIndonesia.id, sumber : BPS). Keadaan ini juga terjadi di Kota Tasikmalaya, dalam proses pengembangan kota atau wilayahnya terjadi persoalan-persoalan yang muncul yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakatnya dan hal ini jelas sekali akan berpengaruh pada kehidupan perkotaannya. Akibat dari datangnya urbanisasi yang tidak jelas pola dan arahnya, kota Tasikmalaya menjadi limpahan dari para pedagang kecil yang memang sangat mengerti keuntungan dalam mencari nafkah di situasi kota seperti ini. Sebagian besar pekerja informal di perkotaan, juga di Kota Tasikmalaya, terserap ke dalam sektor perdagangan, di antaranya perdagangan jalanan atau kaki lima. Perdagangan jalanan telah menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer, terutama pada kalangan bawah di kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel (mudah keluar masuk), modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Kegiatan ini juga merupakan bagian penting dalam sistem perekonomian kota karena terbukti mampu memberikan dukungan kepada masyarakat luas, terutama kalangan bawah melalui penyediaan produk-produk murah.   Gambaran Umum Para pedagang informal (PKL) di Kota Tasikmalaya, ada yang berasal dari Kota Tasikmalaya sendiri dan ada yang merupakan pendatang dari berbagai daerah di sekitarnya. Latar belakang sosial ekonomi mereka yang pada umumnya dari kelompok masyarakat lapisan bawah dan kondisinya menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Keadaan semakin parah karena faktor ekonomi saat ini di Indonesia sedang menghadapi krisis yang berkepanjangan pasca pandemi Covid 19 pada tahun 2020-2021 lalu, sehingga sektor informal di perkotaan seperti pedagang kaki lima menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan. Kawasan Jalan Gunung Sabeulah, Jalan Pasar Wetan, Jalan H. Z. Mustofa, dan Jalan Tentara Pelajar, adalah beberapa lokasi tempat terkonsentrasinya kegiatan perdagangan di pusat Kota Tasikmalaya. Selain sebagai kawasan perdagangan formal, kawasan ini juga menunjukkan kawasan yang berpontensi untuk perkembangan pedagang informal atau pedagang kaki lima. Kondisi yang terlihat saat ini adalah bahwa pemanfaatan ruangnya didominasi oleh kegiatan perdagangan yang terdiri dari mall, toko, pedagang kaki lima, areal parkir mobil, sepeda motor serta tempat mangkal becak. Menurut RTRW Kota Tasikmalaya lokasi ini memang diperuntukan sebagai kawasan perdagangan pusat kota dengan skala pelayanan lokal. Para pedagang kaki lima yang beroperasi di kawasan ini sebagian besar menempati halaman toko, areal pejalan kaki (trotoar) hingga tumpah sampai ke badan jalan, disamping itu areal parkir mobil dan sepeda motor juga menempati sebagian badan jalan sehingga badan jalan yang bisa dimanfaatkan untuk lalu lintas kendaraan kapasitasnya relatif berkurang. Dari segi waktu berdagangnya, para PKL ini terlihat terbagi menjadi beberapa waktu, yaitu pedagang yang mulai berjualan dari pagi hingga siang hari dan pedagang yang berjualan dari sore hingga malam hari. Pedagang Kaki Lima yang berjualan di pagi hari sampai siang hari didominasi oleh pedagang makanan khususnya yang menyediakan menu sarapan, dan pedagang kelontong. Sedangkan pedagang yang berjualan pada sore hingga malam hari didominasi oleh pedagang makanan siap saji, yang menempati kios-kios semi permanen di depan toko dengan menggunakan gerobak. Keberadaan PKL tersebut dapat dilihat pada lampiran. Kondisi yang lahir akibat kegiataan tersebut adalah kemacetan lalu lintas, ketidak nyamanan bagi pejalan kaki, lingkungan yang kotor, juga kurangnya ketertiban dan keamanan di kawasan tersebut menjadi sisi lain yang berdampak buruk bagi Kota Tasikmalaya. Apabila dikaitkan dengan data dan sejarah ekonomi di Indonesia, harus diakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang di dalamnya termasuk PKL, sangat berperan dalam membangun fondasi perekonomian nasional. Sektor ini menyumbang sebesar Rp.2,5 Kuadriliun terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2022, yang merupakan penyumbang kedua terbesar setelah sektor industri pengolahan (Rp.3,6 Kuadriliun). Untuk Kota Tasikmalaya sendiri sektor penyumbang terbesar terhadap PDRB tahun 2022 adalah sektor perdagangan besar dan eceran, yaitu sebesar Rp. 5.416,72 miliar atau 21,69 % yang di dalamnya termasuk PKL. (Sumber : BPS Kota Tasikmalaya).   Permasalahan Keberadaan sektor perdagangan kaki lima ini, ternyata merupakan masalah perkotaan bagi berbagai pihak, antara lain sebagai berikut :
  1. Untuk pihak Pemerintah Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewajiban untuk menertibkan pedagang kaki lima terutama di kawasan pusat kota;
Fungsi trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki dan juga bahu jalan untuk tempat parkir dijadikan tempat berjualan oleh pedagang kaki lima. Selain itu keberadaan PKL juga mulai mengganggu kebersihan, keindahan, keamanan dan kenyamanan kota.
  1. Untuk pemakai jalan dan masyarakat sekitar, karena lalu lintas di sekitar lokasi PKL sering terjadi kemacetan dan tidak beraturan terutama pada siang dan sore hari, sewaktu pengunjung lokasi pedagang kaki lima di kawasan pusat kota sedang ramai. Dengan terjadinya kemacetan maka mengganggu kenyamanan bagi pengguna jalan.
Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menjawabnya dengan subyek penelitian yaitu Langkah Pengendalian Pedagang Kaki Lima di Kota Tasikmalaya khususnya di kawasan pusat kota, untuk memperbaiki kualitas lingkungan kota. Analisa Permasalahan Maraknya keberadaan PKL ditanggapi secara beragam oleh berbagai kalangan. Di satu sisi keberadaan PKL dipandang secara positif yaitu sebagai sumber mata pencaharian, penyedia barang-barang kebutuhan berharga murah, penambah daya tarik kota, dan sebagainya. Dalam pengertian ini, PKL memiliki potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan. Sementara di sisi lain, keberadaan PKL dipandang negatif karena dianggap sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan kekumuhan wajah kota. Dualisme pandangan ini juga tercermin dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kota dalam menangani PKL. Masyarakat kaki lima pada umumnya adalah masyarakat yang mencoba bertahan hidup di dalam situasi sesulit apapun dan mereka ini mempunyai mental yang cukup kuat dan apabila mereka dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, maka mereka akan dengan mudah mengatasinya. Di satu sisi, masyarakat ini sangat lemah dari keleluasaan dan juga sangat lemah terhadap hak azazi manusia karena mereka mengharapkan adanya perlindungan hak mereka untuk berusaha, tetapi di sisi lain mereka juga dianggap mengganggu hak azazi orang lain yaitu berjualan di tempat-tempat yang merupakan akses publik dan apabila hal ini didiamkan maka akan menjadi masalah serius bagi lingkungan setempat dan pada akhirnya menjadi masalah serius bagi perkotaan. Apabila melihat karakteristik masyarakat ini, tentunya tidak hanya melihat mereka sebagai penyebab menurunnya kualitas lingkungan kota sehingga membuat kota menjadi tidak nyaman, lebih dalam lagi kita justru melihat suatu aspek kehidupan penunjang masyarakat kota yang senantiasa menghendaki berbagai fasilitas kehidupan terpenuhi dengan mudah dan hal ini sangat erat berkaitan dengan karakteristik masyarakat dari golongan manapun. Walaupun pemerintah setempat telah berusaha dengan mengeluarkan peraturan seketat apapun, golongan masyarakat ini tidak akan pernah bisa mengikuti peraturan ataupun rencana kota yang tidak memperlihatkan solusi bagi inti kehidupan mereka, sehingga pada akhirnya terjadi main kucing kucingan antara aparat pemerintah dengan mereka, dan akibatnya pertumbuhan pedagang kaki lima ini malah semakin subur. Terlepas dari potensi ekonomi kegiatan perdagangan kaki lima, keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota. Oleh karena itu, PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi. Namun berbagai kebijakan tersebut terbukti kurang efektif karena banyak PKL yang kembali beroperasi di jalanan meskipun pernah digusur atau direlokasi. Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan secara parsial. Dengan kata lain, kebijakan penanganan PKL yang bersifat jangka pendek sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pembenahan jangka panjang terhadap berbagai persoalan mendasar. Dalam menangani perbagai masalah kota yang begitu kompleks, tidak cukup hanya dengan sebuah dokumen yang tidak berisi konsep pengembangan kota yang menyeluruh, karena persoalan kota sangat menyangkut persoalan kehidupan kelompok manusia yang saling bergantungan satu sama lain sehingga di dalam menyelesaikan persoalan yang timbul harus tetap mempunyai komitmen kepada keseluruhan aspek yang sangat berkaitan, apabila aspek-aspek tersebut tidak dapat diakomodir, maka konsep sebaik apapun tidak akan berhasil untuk dilaksanakan.     Kabijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam Pengendalian PKL Langkah kebijakan penanganan PKL yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Tasikmalaya, di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tasikmalaya 2011-2031
Salah satu langkah kebijakan dalam penataan PKL ini adalah seperti yang diamanatkan dalam Pasal 44 Ayat 4 Butir c aturan ini, yaitu relokasi PKL yang berada di pinggir-pinggir jalan sekitar Pasar Cikurubuk untuk menempati bangunan kios yang sudah disediakan di Jalan Situ Gede. Akan tetapi langkah inipun kurang berhasil, hal ini dapat dilihat dari masih maraknya PKL di kawasan Pasar Cikurubuk, sementara lokasi yang sudah disediakan hanya ditempati oleh beberapa pedagang saja.
  1. Penggusuran
Sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah Kota Tasikmalaya tak henti-hentinya melancarkan operasi penertiban PKL oleh Satpol PP Kota Tasikmalaya, sehingga sebagian PKL terpaksa memindahkan usahanya ke daerah pinggiran atau daerah lain yang jarang menjadi target penertiban. Namun sebagian lainnya nekad berjualan di kawasan semula dan memilih “kucing-kucingan” dengan petugas Satpol PP. Kenyataan ini menggarisbawahi bahwa tekanan ekonomi yang dialami PKL mampu mengalahkan berbagai upaya pemerintah untuk membatasi kegiatan usaha mereka. Langkah pengendalian dengan penggusuran ini terbukti masih belum efektif mengatasi maraknya kegiatan perdagangan jalanan. Langkah ini seringkali memunculkan persoalan lain, yaitu kerusuhan dan penurunan kualitas hidup. Ketidakefektifan tersebut salah satunya terkait dengan persoalan praktis yaitu keterbatasan pemahaman pemerintah akan karakteristik dan tipologi PKL, sehingga berbagai kebijakan yang dibuat seringkali tidak didasari atas pemahaman yang tepat terhadap PKL dan cenderung mengabaikan kompleksitas permasalahan dan keterlibatan banyak aktor dalam kegiatan perdagangan kaki lima.
  1. Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW Kota Tasikmalaya 2023-2043
Dalam rancangan peraturan daerah ini, Pasal 88 huruf a disebutkan bahwa kegiatan yang di perbolehkan di kawasan perdagangan dan jasa meliputi:
  1. perdagangan;
  2. perkantoran;
  3. jasa pariwisata;
  4. penginapan;
  5. hunian;
  6. sarana pendidikan, kesehatan, dan sosial;
  7. kegiatan usaha sektor informal;
  8. RTH dan RTNH; dan
  9. kegiatan pengembangan sarana prasarana kota.
  1. Pembangunan Teras Cihideung
Teras Cihideung dibangun pada tahun 2022, yaitu berupa alih fungsi sebagian badan jalan sisi utara dari Jalan Cihideung ± selebar 12 meter. Pada awal perencanaannya, pembangunan Teras Cihideung diperuntukan sebagai area untuk menempatkan para pedagang kaki lima yang sebelumnya berlokasi di trotoar Jalan Cihideung dan sekitarnya. Dengan dibangunnya Teras Cihideung ini, diharapkan para pejalan kaki akan nyaman berada pada jalurnya (trotoar/pedestrian), dan pedagang kaki lima juga akan melakukan kegiatannya dengan tertib dan rapi pada tempat yang sudah disediakan. Namun kenyaataannya hingga saat ini setelah satu tahun pembangunannya, Teras Cihideung masih belum dimanfaatkan dengan optimal terutama pada malam hari, karena belum keluarnya ketentuan teknis yang mengaturnya. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya yang didominasi oleh penggusuran dan relokasi masih kurang berhasil menahan PKL untuk kembali ke jalan. Hal ini disebabkan oleh jauhnya jarak lokasi berjualan dari pusat keramaian dan sepinya pengunjung yang datang. Perdagangan kaki lima yang sering dianggap sebagai kegiatan ekonomi informal, pada kenyataanya tidak terlepas dari kegiatan ekonom formal. Selain itu, pendekatan pemerintah kota yang cenderung bersifat represif (melalui penggusuran dan relokasi) cenderung tidak berhasil membatasi pertumbuhan PKL dan kembalinya PKL ke jalanan. Proses penataan dan relokasi yang relatif berhasil terjadi adalah dengan melibatkan PKL di dalam prosesnya (seperti yang terjadi di Kota Solo). Berbagai tekanan yang dihadapi PKL juga telah mendorong upaya pengorganisasian PKL. Selain itu, PKL juga menjalin hubungan dengan pihak-pihak lain yang dapat melindungi keberadaan PKL di jalan. Kebijakan penanganan PKL juga perlu didasarkan atas pemahaman yang tepat akan berbagai persoalan yang mendorong kemunculan PKL (persoalan struktural), keragaman karakteristik dan tipologi PKL, keterlibatan berbagai aktor dalam perdagangan kaki lima, dan kompleksitas persoalan yang dihadapi PKL. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan Kota Tasikmalaya untuk penertiban ini adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2009 tentang Ketertiban Umum yang merupakan perubahan dari Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum, dimana implementasinya terfokus pada pengaturan ketertiban secara umum di wilayah Kota Tasikmalaya. Akan tetapi implementasi dari Perda ini juga tidak berhasil menyelesaikan permasalahan PKL, hal ini terlihat dari masih beroperasinya para PKL di kawasan-kawasan tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang diperkirakan menghambat terhadap implementasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima di Kota Tasikmalaya adalah sebagai berikut :
  1. Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak berusaha menciptakan lapangan pekerjaan baru bahkan lebih cenderung berorientasi kepada mall-mall dan pasar modern dari pada jenis pedagang kecil;
  2. Sebagian pedagang merasa keberatan untuk membayar biaya sewa los/kios yang cukup tinggi yang sudah disediakan oleh pemerintah di kawasan PKL Cikurubuk;
  3. Sejumlah kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penanganan PKL cenderung parsial, tidak disertai dengan kebijakan di sektor lain yang masih terkait dengan perdagangan kaki lima;
  4. Tidak ada pengawasan berkala dan intensif dari pemerintah;
  5. Belum dilaksanakannya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Perda yang berlaku.
Sebenarnya para PKL itu bukanlah tidak mengerti aturan, tetapi mereka tidak nyaman dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Misalnya,kenapa mal dengan mudah berdiri di Kota Tasikmalaya ini, tetapi untuk berjualan saja digusur. Hal itu masih menjadi dilematik bagi Pemerintah Kota Tasikmalaya dan tidak menyelesaikan persoalan. Dari sisi regulasi ini, keberadaan PKL yang semakin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum tersebut mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Sesungguhnya diperlukan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.   Saran-saran Sebagai Masukan dalam Langkah Kebijakan Pengendalian PKL Pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan, sehingga aktivitas ekonomi (perdagangan) tetap dapat dilakukan, namun di sisi lain penegakan keamanan dan ketertiban masyarakat pun tetap berjalan. Dari berbagai permasalahan serta analisa yang telah dilakukan di atas, ada beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai bahan masukan dalam langkah kebijakan pengendalian PKL di Kota Tasikmalaya khususnya di kawasan pusat kota, yaitu sebagai berikut :
  1. Langkah pemberdayaan terhadap pedagang, yaitu :
  2. Melakukan edukasi mengenai aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, di satu sisi dibubarkan dan di sisi lain dimintai setoran, selama itu PKL akan ada. Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerja sama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisasi agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini pengorganisasian lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan dengan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisasi itu.
  3. PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. Contoh untuk kawasan PKL Cikurubuk yang sudah disediakan oleh pemerintah, diusahakan harga sewa losnya jangan terlalu tinggi agar terjangkau oleh para pedagang jalanan di kawasan itu.
  4. Edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikan permodalan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omzetnya ratusan ribu rupiah naik menjadi ratusan juta rupiah. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan. Pemahaman yang tepat akan keberadaan mereka juga dapat mendasari lahirnya kebijakan-kebijakan yang strategis maupun upaya pengorganisasian para PKL yang lebih
  5. Konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemerintah kota harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat lebih baik, bukan sebaliknya dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemerintah daerah harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan selama ini banyak pembeli tanpa mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun melalui kelompok PKL yang diorganisasi sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
  6. Langkah kebijakan dari pemerintah, yaitu :
  7. Terjalinnya hubungan baik antara pemerintah dengan organisasi PKL yang akan menjebatani implentasi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanganan PKL;
  8. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam sektor perdagangan informal, khususnya PKL, harus juga dibarengi dengan kebijakan di sektor lain (contoh sektor sosial, pembukaan lapangan kerja) yang terkait dengan kegiatan PKL;
  9. Sudah saatnya sektor ekonomi informal alokasinya terwadahi dalam rencana tata ruang kota secara resmi;
  10. Adanya pengawasan berkala dan intensif dari aparat yang berwenang;
  11. Pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan yang berlaku;
  12. Pemberian reward kepada pedagang yang telah mengikuti aturan yang berlaku, misalnya dengan pemberian modal;
  13. Percepatan penerbitan regulasi tentang penataan PKL di kawasan pusat Kota Tasikmalaya, termasuk pemanfaatan Teras Cihideung pada malam hari untuk menempatkan PKL yang menjual makanan cepat saji (kuliner malam) yang saat ini berlokasi di trotoar-trotoar sekitar pusat kota.
  Kesimpulan Pedagang kaki lima (PKL) dikategorikan sebagai sektor informal perkotaan yang belum terwadahi dalam rencana kota yang resmi, sehingga tidaklah mengherankan apabila para PKL di kota manapun selalu menjadi sasaran utama pemerintah kota untuk ditertibkan. Namun faktanya berbagai bentuk kebijakan dalam rangka menertibkan PKL yang telah dilakukan oleh pemerintah kota tidak efektif baik dalam mengendalikan PKL maupun dalam meningkatkan kualitas ruang kota. Harus diakui bahwa pada saat ini adanya penertiban-penertiban yang dilakukan terhadap PKL cenderung menimbulkan permasalahan baru seperti pemindahan lokasi usaha PKL yang justru akan membawa dampak yang dikhawatirkan menurunnya tingkat pendapatan PKL tersebut bila dibandingkan dengan di lokasi asal, karena lokasinya menjauh dari konsumen. Dengan demikian, dapat dikatakan adanya persoalan PKL ini menjadi beban berat yang harus ditanggung pemerintah kota dalam penataan kota. Padahal, bila ditinjau lebih jauh PKL mempunyai kekuatan atau potensi yang besar dalam penggerak roda perekonomian kota sehingga janganlah dipandang sebelah mata bahwa PKL adalah biang kesemrawutan kota dan harus dilenyapkan dari lingkungan kota. Dan perlu dicermati pula bahwa kemacetan tersebut tidak semata karena adanya PKL. Ternyata keberadaan mereka sebenarnya sangat membantu bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, dan harus dipikirkan bersama bagaimana dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Pembinaan PKL tampaknya cukup menjanjikan tapi hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan karena jumlah PKL yang sangat banyak dan menyebar. Sudah saatnya pemerintah kota melakukan sebuah terobosan baru yang bersifat win-win solution. Di satu sisi kota bisa terlihat lebih cantik dan di sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih banyak. Apakah mungkin? Kenapa tidak, asalkan ada kemauan yang kuat dari pihak- pihak yang terkait. Oleh karena itu, PKL baik lokal maupun pendatang, perlu diakui keberadaannya dan diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang kota. Apalagi perdagangan kaki lima memiliki peran ekonomi penting bagi kelangsungan ekonomi masyarakat, tidak hanya terbatas pada masyarakat perkotaan tetapi juga masyarakat pedesaan. Dengan demikian berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung menghilangkan keberadaan mereka tidak hanya akan mengancam kelangsungan hidup pedagang jalanan, tetapi juga dapat mengganggu perkembangan ekonomi secara umum. Adapun kebijakan pemerintah bisa diarahkan untuk menyeimbangkan hubungan ekonomi formal – informal agar tidak eksploitatif, mengingat semakin banyak pedagang jalanan atau pelaku ekonomi informal yang menjadi kepanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan besar (Bromley 1979; Castells dan Portes 1989). Selama persoalan struktural belum dapat dipecahkan, maka kegiatan ekonomi informal, khususnya perdagangan jalanan akan tetap menjadi sebuah fenomena perkotaan yang tidak dapat dihindarkan.